ProduksiSastra Komunitas Sastra Salihara, Jakarta Di daerah Jakarta, satu komunitas sastra yang paling besar dan eksis adalah Komunitas Salihara. Komunitas Sastra Salihara, merupakan komunitas sastra yang paling produktif menjalankan program-program yang telah disusunnya. Komunitas ini, dapat dikatakan, sudah sangat profesional mengelola UINJakarta kembali menghadirkan komunitas baru bernama " Komunitas Sastra Pinggiran " yang dibuat oleh mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Komunitas ini menitik-beratkan pada sastra terutama puisi dan pendaftaran terbuka untuk seluruh mahasisw a di UIN Jakarta. Komunitas Sastra Pinggiran tidak menargetkan jumlah anggota, bagi mahasiswa yang ingin mendaftar dapat langsung menghubungi Oleh ACEP ZAMZAM NOOR. AKHIR dekade 1980-an banyak muncul komunitas-komunitas sastra di daerah. Gejala ini menandai bahwa kegiatan sastra tidak lagi terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Munculnya komunitas-komunitas sastra di daerah ini selain ditandai dengan aktivitas menulis, membaca puisi dan diskusi dari para Diantara para pencetus dan penandatangan Manifes Kebudayaan ini di Jakarta adalah H.B. Jassin, Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad, dll. Sedangkan para manifestan di Kalimantan Selatan terdapat pula para sastrawan seperti Yustan Aziddin dan Rustam Effendi Karel. Maraknya komunitas sastra di tahun 1980-an dan 1990-an di Kalbar, khususnya di ClickDownload or Read Online button to get Pemetaan Komunitas Sastra Di Jakarta Bogor Tangerang Dan Bekasi book now. This site is like a library, Use search box in the widget to get ebook that you want. If the content Pemetaan Komunitas Sastra Di Jakarta Bogor Tangerang Dan Bekasi not Found or Blank , you must refresh this page manually. manfaat salep pi kang shuang untuk selangkangan. buku perpustakaan. ©2012 - Mengunjungi festival buku internasional atau tempat-tempat sastra yang bersejarah adalah ide untuk perjalanan sempurna Anda. Untuk itu, lokasi-lokasi ini harus ada dalam daftar Anda. Dari perpustakaan jalanan yang inovatif di Indonesia, hingga festival permainan kata-kata di Austin, Texas. Artikel ini merangkum lima kota terbaik untuk perjalanan sastra di 2019. 12 bulan ke depan tidak diragukan lagi Anda akan melihat eksplorasi yang sama menariknya dari politik dan budaya melalui literatur, dengan perkembangan menarik terjadi di seluruh dunia. Kelima tujuan ini mencakup empat benua pastimenjadi bagian dari percakapan sastra global pada 2019. Terbanglah bersamaScoot untuk menuju festival literatur di lima kota ini Pameran buku musim semi di Budapest, Hongaria Generasi Nyugat adalah sekelompok novelis dan penyair yang tumbuh subur di Budapest awal abad ke-20, yang berafiliasi dengan jurnal filosofis Nyugat yang berpengaruh. Meski dibaca dan dihormati di seluruh Eropa Timur, sedikit yang diketahui tentang Sándor Márai, Mihály Babits, dan DezsÅ Kosztolányi di luar wilayah pada waktu itu. Saat ini, budaya sastra Budapest yang kaya, terus tumbuh dari fondasi yang diletakkan oleh para penulis ini. Hadik Café, tempat nongkrong penulis legendaris yang didirikan pada 1911, terus menyajikan makanan tradisional Hongaria dalam suasana bersejarah mempesona. Baru-baru ini, Massolit Books and Café mengambil namanya dari Bulgakov's Master dan Margarita menjadi pusat sastra kontemporer kota ini, menjadi tuan rumah acara buku dan ceramah, serta menjual berbagai macam buku bekas. Bagi mereka yang ingin merencanakan perjalanan, pertimbangkan berkunjung pada akhir April, ketika musim semi mekar penuh. Pameran Buku Internasional Budapest membawa gebrakan kutu buku ke ibukota Hongaria. Puisi dan permainan kata-kata di Austin, Amerika Serikat Pada 1995, Ibu Negara Texas Laura Bush mendirikan Festival Buku Texas, yang berkembang menjadi perayaan sastra yang menarik perhatian para penulis dari seluruh dunia. Sejak momentum ini, sejumlah festival sastra khusus muncul di Austin, termasuk Austin International Poetry Festival, Texas Teen Author Festival, African American Book Festival, dan O Henry Pun Kejuaraan Dunia Off. Temukan keajaiban sastra di Jakarta, Indonesia Indonesia akan menjadi Fokus Pasar di London Book Fair 2019, jadi majui kurva sebelum semua orang mendiskusikan adegan sastra yang sedang berkembang di negara ini. Indonesia memiliki salah satu komunitas sastra paling inovatif dan kreatif di dunia, ditandai oleh Pustaka Bergerak, jaringan perpustakaan bergerak yang menjangkau ratusan komunitas di seluruh negeri. Lihatlah jaringan toko-toko buku independen di Jakarta yang sedang berkembang, termasuk Aksara dan studio buku Seumpama. Setelah kehabisan ini, pastikan untuk mengunjungi perpustakaan jalanan di Bandung, sebuah kota dalam jarak perjalanan sehari dari ibukota Indonesia. Dengarkan suara-suara baru yang menarik di Lagos, Nigeria Komunitas sastra Lagos tumbuh dan berkembang, dengan Asosiasi Penulis Nigeria ANA mengadakan bacaan bulanan dan pertemuan sosial di kota untuk menciptakan jaringan penulis yang kuat di ibukota negara dan lebih jauh. Lokasi ini juga masuk dalam daftar ini, karena banyak penulis hebat Nigeria yang terjun ke kancah sastra global, termasuk Chibundu Onuzo, Chinelo Okparanta, Akwaeke Emezi, dan penulis terkenal Chimamanda Ngozi Adichie. Salah satu dari mereka, suara paling berpengaruh tentang gender dan identitas di seluruh dunia. Membaca di bawah sinar matahari di Los Angeles, Amerika Serikat Toko Buku Terakhir di Los Angeles adalah lokasi yang sempurna untuk selfie kutu buku yang siap pakai di Instagram, berkat tata letaknya yang menarik dan nuansa komunitas yang menawan. LA dikenal karena cuaca panas sepanjang tahun, dan Perpustakaan Umum Santa Monica memanfaatkan sepenuhnya ini dengan tempat duduk di luar ruangan di mana pengunjung dapat berjemur di bawah sinar matahari dengan sebuah buku. [sya] Skip to content Tentang DKJPengurus HarianKomiteKontak OPEN CALL JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL 2022 JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL JILF 2022 KOMITE SASTRA – DEWAN KESENIAN JAKARTA Our City in Their World Citizenship, Urbanism, Globalism Kota Kami di Dunia Mereka Kewargaan, Urbanisme, Globalisme Pengantar Istilah kota dalam bahasa Indonesia selalu dibayang-bayangi kegandaan makna yang bisa merepotkan. Kota menjadi padanan bahasa Indonesia baik bagi kata city maupun town dalam bahasa Inggris, yang masing-masingnya memiliki cakupan makna berbeda. Kota dalam artian city adalah kota yang dengan ambisius hendak mengantar dirinya menjadi bagian dari dunia yang global, dan acapkali angan-angan ini hendak diwujudkan, bila perlu, dengan meninggalkan segala kelokalannya agar menjadi serupa dan seragam dengan kota-kota dunia lainnya. Sementara itu, kota dalam artian town adalah sebuah komunitas yang masih dipersatukan oleh kontiguitas kedekatan dan dihidupi oleh tradisi berkomunitas sehingga tidak pernah menjadi kota yang terkotak-kotak secara sosial, ekonomi, dan kultural seperti halnya city. Di dalam proses transformasi sebuah kota yang hendak mengglobal, ancaman paling serius bukanlah berasal dari ekspansi teritori kota ke kawasan-kawasan di pinggirannya, atau dari menjamurnya pembangunan infrastruktur megah dan baru, dan bukan pula dari arus mobilitas manusia dari tempat-tempat lain ke kota tersebut. Krisis terbesar yang bisa ditimbulkan oleh globalisasi kota-kota adalah hilangnya hak-hak kewargaan yang semula dimiliki secara melekat oleh mereka yang berdiam di tempat yang tengah dilanda perubahan itu. Jika hal itu dibiarkan terjadi, pergerakan kota-kota menjadi milik dunia’ dengan kultur urbanismenya yang homogen dan elitis akan menghasilkan kolonisasi kota-kota oleh segelintir orang dengan akses besar ke kekuasaan dan kapital. Kota menjadi wilayah pendudukan di mana warga kota justru menjadi kaum yang tertindas terusir, terabaikan, terlupakan. Kalaupun mereka diizinkan bertahan hidup di kota, itu karena mereka masih berfungsi sebagai komponen penunjang kehidupan kota yang bukan lagi milik mereka sebagai penjaja makanan di pinggir jalan, penyapu jalanan, pengepul sampah, penjaga parkir dan keamanan, ataupun pramusaji rumah-rumah makan. Kehadiran mereka tak dikehendaki, tetapi mereka dibutuhkan agar nadi kota tetap berdenyut, sejauh mereka tidak muncul secara mencolok dan mengganggu keindahan, kenyamanan, dan keteraturan kota. Mereka ada demi agar para urbanis dan kultur urbanismenya yang mahal tapi banal dapat terus berlangsung. Dunia baru yang asing itu kini mengeksploitasi mereka, sementara dulu tempat itu adalah sumber kehidupan mereka. Adakah sastra menangkap dan bergulat dengan krisis eksistensial kewargaan ini, di samping mencurahkan kegelisahannya atas berbagai perubahan fisik dan sosial yang terjadi pada kota ketika bertransformasi menjadi bagian dari dunia global? Bagaimana berbagai komunitas sastra dan gerakan sastra, khususnya yang secara langsung berhadapan dengan ancaman terhadap kewargaan ini, merespon proses-proses urbanisme dan globalisme yang menggerus kehidupan di kota-kota? Masihkah ada harapan, optimisme, serta gagasan-gagasan kritis dan inovatif yang tumbuh dari pergumulan nyata dengan transformasi kota dan mampu membuka jalan untuk merebut kembali kewargaan yang terampas? Adakah cara untuk mendamaikan hasrat untuk mempertahankan kota sebagai rumah kita di satu sisi dan kota sebagai milik dunia di sisi lain? Tujuan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggunakan ajang Jakarta International Literary Festival JILF pada 2022 ini berkehendak untuk mencari dan mendengar suara-suara para penyintas transformasi kota di tengah belantara perubahan. Akan tetapi, tak kalah penting adalah menjadikan JILF 2022 sebagai sarana penggalangan solidaritas di antara para pegiat, pengabdi, dan pemerhati sastra di dalam latar dan konteks urban untuk bersama-sama menghadapi berbagai persoalan menyangkut krisis kewargaan kota ini melalui alternatif – alternatif yang segar sekaligus kritis agar celah-celah terobosan dapat mulai digali. Untuk itu, Panitia JILF 2022 mengundang komunitas-komunitas pegiat, pelaku, dan pemikir sastra yang memiliki perhatian serta keterlibatan khusus dengan isu-isu kewargaan dan perkotaan untuk menciptakan dan menyumbangkan pemikiran kreatif, rancangan konseptual, atau model pengembangan alternatif dalam bentuk proposal eksibisi, workshop, panel atau karya kreatif untuk mengirimkan proposal dengan cakupan area sebagai berikut Transformasi kota yang mengintegrasikan kewargaan, lingkungan, dan infrastruktur sebagai satu kesatuan pemikiran untuk pengembangan kehidupan kota ke depan; Pemeliharaan konservasi, penggalian “lumbung-lumbung budaya” yang laten atau potensial untuk membangun ketangguhan warga dalam menghadapi perubahan, sustainability kota yang ramah pada kehidupan; Isu-isu urban dan global seperti urbanisasi, gentrifikasi, neoliberalisasi kota, alih fungsi lahan, ketercerabutan warga displacement, teknologisasi kota, mobilitas lintasbatas, kemiskinan kota, ketidaksetaraan sosial dan ketimpangan ekonomi, materialisme; Imajinasi kota, warga, dan dunia dari wilayah periferi dan perspektif yang berjarak dari kawasan perkotaan sebagai sumbangan peluang dan kemungkinan baru bagi pengembangan kota-kota global yang berbasis kewargaan; Isu, pendekatan, proyek, eksplorasi, dan bentuk aktivitas lain yang berkaitan langsung dengan persoalan kewargaan, urbanisme, dan globalisme. Bentuk Kegiatan Bentuk kegiatan yang diusulkan dapat berupa penciptaan dan resitasi karya, pameran karya, workshop/bengkel kreatif, panel pemikiran kolaboratif, dan bentuk-bentuk kreatif lain yang relevan dan tepat sasaran. Penggagas diberi slot waktu khusus untuk memperkenalkan dan menyampaikan hasil karyanya sepanjang maksimum 3 tiga jam, dengan semangat partisipatoris atau interaktif. Format Usulan Proposal yang diajukan hendaknya berisi unsur-unsur sebagai berikut Isu atau problem konkrit yang melatarbelakangi dibuatnya usulan, Paparan bentuk kegiatan yang diajukan untuk menjawab isu atau problem dapat melibatkan sarana multimedia dan teknologi informasi dan digital, Personil yang terlibat nama komunitas, koordinator, jumlah personil, resume, dll., Linimasa kegiatan dari preproposal hingga pascafestival, jika ada, Anggaran yang dapat diajukan adalah maksimal – lima puluh juta rupiah, Uraian tentang cara atau pengukuran dampak dari kegiatan apabila ada tindak lanjut untuk implementasi dalam komunitas atau masyarakat, Lokasi tempat kegiatan berpusat atau dilaksanakan, dan Mengisi tautan pendaftaran Open Call JILF di dan mengunggah dokumen penunjang. Persyaratan Peserta Peserta yang dapat mengajukan proposal adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut Warga Negara Indonesia yang berdomisili di dalam atau di luar wilayah negara Republik Indonesia, Menjadi bagian dari suatu komunitas sastra/seni/budaya sebagai pendiri/pengurus/anggota, Memiliki rekam jejak kepedulian dan keterlibatan dalam hal-ihwal yang bersangkutan dengan isu-isu sastra, seni, budaya dan/atau perkotaan dan/atau globalisasi, Pengusul dapat berkolaborasi baik dengan mitra domestik maupun dengan mitra asing atau internasional yang tidak berpusat di Indonesia, Ketersediaan dana pendamping dari mitra adalah sebuah nilai tambah bagi proposal, Bersedia menerima masukan untuk revisi proposal dari Panitia apabila proposal diterima, dan Bersedia tampil sebagai pengisi program dalam pelaksanaan JILF 2022 pada 22 – 26 Oktober 2022 di Jakarta. Periode Pengajuan Batas waktu pengajuan proposal lengkap adalah 15 Juli 2022 tengah malam. Proposal dikirimkan secara elektronik melalui Google Form pada tautan bersama dengan data lainnya. About the Author DKJ Dewan Kesenian Jakarta DKJ adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan untuk pertama kali dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. DKJ bertugas sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan kebijakan serta merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Jakarta. Related Posts Siaran Pers 20 TAHUN KOMUNITAS SASTRA INDONESIA KSI KEGEMBIRAAN BERORGANISASI & BERKARYA MELALUI KONGRES & SEMINAR SASTRA Seminar Sastra “Kembali ke Literasi Peta & Prospek Penerbitan Komunitas Sastra di Indonesia” Memasuki usia ke-20 tahun, Komunitas Sastra Indonesia KSI akan menggelar Kongres Komunitas Sastra Indonesia III di Kota Tangerang Selatan Tangsel, Banten, selama 8-10 Januari 2016. Selain pemilihan pengurus KSI periode 2016-2019 sebagai agenda utama, kongres juga akan diisi seminar sastra nasional dengan tema “Kembali ke Literasi Peta dan Prospek Penerbitan Komunitas Sastra di Indonesia”. Kongres diharapkan akan dibuka oleh Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany. “Kongres dan seminar sastra ini ingin kami jadikan pijakan untuk membangun kegembiraan berorganisasi dan berkarya di dalam komunitas sastra. Dua puluh tahun lalu, KSI merupakan komunitas sastra yang kecil, tapi terasa lapang. Kami melakukan berbagai aktivitas sastra secara gembira dan guyub. Sekarang, KSI menjadi komunitas sastra yang tergolong besar dengan cara pandang dan latar belakang para anggota yang beragam. Kami ingin, keragaman tersebut bukan penghalang untuk membangun kegembiraan berorganisasi dan berkarya,” papar Wowok Hesti Prabowo, Ketua Dewan Pendiri KSI. Karena itu, Wowok melanjutkan, salah satu yang ingin ditekankan KSI ke depan adalah satu hal mendasar bagi komunitas sastra, yakni tradisi literasi yang bermuara pada penerbitan buku. Karena itu, kongres kali ini—dan juga seminar sastra nasional—akan mengusung tajuk “Kembali ke Literasi Peta dan Prospek Penerbitan Komunitas Sastra di Indonesia”. “Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, Hasan Bisri BFC, dan Nanang Ribut Supriyatin direncanakan menjadi pembicara pada seminar tersebut,” tambah Shobir Poer, Ketua Panitia Pelaksana Kongres KSI III Tahun 2016. Selain itu, masih menurut Wowok, “Untuk melanjutkan berbagai kegiatan dan kerja sama serta menjajaki berbagai peluang baru dan menjawab berbagai tantangan baru sesuai dengan perkembangan dan tuntuan zaman, KSI akan bermusyawarah untuk memilih kepengurusan baru serta merumuskan langkah-langkah atau program-program baru yang lebih strategis dan efektif untuk meningkatkan kontribusi KSI terhadap perkembangan sastra di Indonesia,” Shobir Poer menjelaskan, selain kongres dan seminar sastra, kegiatan ini juga akan dimeriahkan dengan pentas sastra dan wisata alam ke Kandank Jurank Doank di Tangsel. “Kongres KSI ini akan diikuti 75 peserta, yang berasal dari pengurus KSI di tingkat pusat serta perwakilan pengurus KSI cabang dari seluruh Indonesia dan luar negeri. Sedangkan, di luar kongres, sejumlah acara pendukung akan dihadiri tamu undangan, masyarakat, dan kalangan pers,” ujar Shobir. Kiprah KSI Dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra di Indonesia, peran komunitas sastra sangat penting. Komunitas sastra tidak hanya menjadi wadah pembinaan calon penulis dan pengembangan apresiasi sastra masyarakat, tetapi juga ikut memberikan arah perkembangan corak estetik dan tematik kesastraan Indonesia. Bahkan, secara ideologis, komunitas-komunitas sastra ikut juga memengaruhi orientasi penciptaan para sastrawan Indonesia. Sejak ditubuhkan pada 1996, Komunitas Sastra Indonesia KSI terus berupaya melaksanakan peran-peran tersebut. Bersama komunitas sastra yang lain, KSI terus berupaya mendorong pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia ke arah yang lebih sehat dan kondusif untuk ikut melahirkan para penulis baru dan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan sastra Indonesia. KSI merupakan organisasi pertama di Indonesia—sekurangnya di bidang kesusastraan atau bahkan di bidang kesenian—yang menggunakan kata komunitas atau frase komunitas sastra sebagai bagian dari nama organisasinya. Dua puluh tahun lalu, belum ada organisasi di bidang kesusastraan atau bahkan di bidang kesenian di Indonesia yang menggunakan kata atau frase tersebut. Kata komunitas sendiri masih sangat jarang digunakan dalam wacana lisan atau wacana tulisan pada saat itu. Pada 2016 ini, KSI akan memasuki usia 20 tahun, suatu tahapan usia yang mulai matang. Tak banyak komunitas sastra di negeri ini yang mampu bertahan selama rentang waktu tersebut. Selama itu, KSI telah berkembang menjadi komunitas sastra yang bukan hanya berkiprah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Jabodetabek, melainkan juga meluas ke hampir banyak wilayah di Tanah Air dan bahkan luar negeri. Cabang atau koordinat KSI kini berdiri di banyak kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia dan beberapa kota di luar negeri. Berbagai kegiatan telah dilakukan KSI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang atau koordinat. Mulai dari diskusi, bengkel penulisan, seminar, penelitian, penerbitan buku, sayembara penulisan, pementasan, pemberian penghargaan, hingga kegiatan kepedulian sosial, baik dalam skala terbatas maupun skala yang lebih luas, termasuk skala internasional, seperti menyelenggarakan Jakarta International Literary Festival JIL-Fest. Berbagai kegiatan tersebut diselenggarakan secara swadaya oleh para anggota dan pengurus KSI sendiri atau bekerja sama dengan banyak pihak. Selama ini, KSI telah bekerja sama dengan lembaga atau instansi pemerintah pusat atau daerah, badan usaha milik pemerintah pusat atau daerah, badan usaha swasta nasional, lembaga swadaya masyarakat, komunitas budaya, komunitas seni, dan komunitas sastra lain, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, seperti Gabungan Penulis Nasional Gapena, Malaysia. Dewan Pendiri & Peserta Kongres Dewan Pendiri KSI Ahmadun Yosi Herfanda Ayid Suyitno PS Azwina Aziz Miraza Almarhumah Diah Hadaning Hasan Bisri BFC Iwan Gunadi Medy Loekito Shobir Poer Slamet Rahardjo Rais Wig SM Wowok Hesti Probowo Peserta Kongres 1. Abdul Karim 2. Ahmadun Yosi Herfanda 3. Ali Syamsudin Arsi 4. Amdai Yanti Siregar 5. Amien Wangsitalaja 6. Aria Patrajaya 7. Aris Kurniawan 8. Arsyad Indradi 9. Ayid Suyitno PS 10. Ayu Cipta 11. Bambang Joko Susilo 12. Bambang Widiatmoko 13. Budi Setyawan 14. Dharmadi 15. Diah Hadaning 16. Dianing Widya Yudhistira 17. Dimas Arika Mihardja 18. Dinullah Rayes 19. Eka Budianta’ 20. Eko Suryadi WS 21. Endang Supriadi 22. Endo Senggono 23. Erwan Juhara 24. Esthi Winarni 25. Evi Idawati 26. Fakhrunnas MA Jabbar 27. Fatin Hamama 28. Gito Waluyo 29. Habiburrahman El Shirazy 30. Hamdy Salad 31. Hasan Bisri BFC 32. Hudan Nur 33. Humam S. Chudori 34. Husnul Khuluqi 35. I Wayan Arthawa 36. Idris Pasaribu 37. Iman Sembada 38. Iwan Gunadi 39. Jamal T. Suryanata 40. Jumari HS 41. Khoirul Anwar 42. Kurnia Effendi 43. Lukman Asya 44. M. Abbullah 45. Mahrus Prihany 46. Mahdiduri 47. Medy Loekito 48. Micky Hidayat 49. Muhary Wahyu Nurba 50. Mustafa Ismail 51. Mustafa W. Hasyim 52. Nana Eres 53. Nanang Ribut Supriyatin 54. Nanang Suryadi 55. Nirwondo El-Naan 56. Omni S. Koesnadi 57. Peny S. 58. Pudwianto Arisanto 59. Rita Jassin 60. Roel Sanre 61. Sandi Firly 62. Santhinet 63. Shobir Poer 64. Slamet Rahardjo Rais 65. Suyanto 66. Teteng Jumara 67. Thomas Budi Santoso 68. Toto St. Radik 69. Viddy Alymahfoedh Daery 70. Widodo Arumdono 71. Wig SM 72. Wilson Tjandinegara 73. Wowok Hesti Probowo 74. Yudhi Ms. 75. Zakier El Makmur › Selama pandemi Covid-19, kegiatan komunitas sastra di berbagai daerah tetap berjalan meski di ruang virtual. Sastra berjalan ke arahnya yang baru yakni sebagai gerakan akar rumput. Oleh BUDI SUWARNA, ELSA EMIRIA LEBA, MOHAMMAD HILMI FAIQ, DWI AS SETIANINGSIH 6 menit baca ARSIP LAKOAT KUJAWASSuasana lokakarya musikalisasi puisi yang dilakukan oleh anak-anak di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. didirikan Dicky Senda pada 2016, merupakan kewirasahaan sosial yang fokus pada pengembangan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif masyarakat lokal. KOMPAS, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas-komunitas sastra tumbuh subur di berbagai daerah. Komunitas-komunitas itu bergerak ke arah baru yakni sebagai bagian dari gerakan literasi dan pemberdayaan di akar rumput. Komunitas ini diikuti beragam kalangan, mulai dari anak-anak, orang dewasa, mahasiswa, karyawan di perkotaan, hingga ibu rumah tangga di desa. Pengamat melihat hal ini sebagai gejala demokratisasi sastra yang menjanjikan lahirnya aneka wacana sastra antara lain tumbuh di Sulawesi Barat. Dahri Dahlan, sastrawan Mandar, Kamis 3/3/2022, menceritakan, saat ini setidaknya ada 13 komunitas sastra yang melibatkan banyak warga dari berbagai kalangan, termasuk buruh migran di beberapa kabupaten di Sulbar. Sebagian komunitas, terutama yang bergerak di bidang teater, sudah ada sejak 1990. Sebagian lagi baru muncul pada tahun 2000-an. Kemunculan komunitas-komunitas itu diikuti dengan ledakan penerbitan buku sastra pada 2015. ”Tiba-tiba saja orang Sulbar seperti berlomba-lomba menulis dan menerbitkan buku cerita. Bersastra sudah seperti gaya hidup saja,” ujar Dahri, penulis cerita anak mandar Kisah Samariona yang diadaptasi menjadi drama sinisiar podcast oleh Teater buku-buku yang ditulis penulis lokal, lanjut Dahri, didorong munculnya penerbit-penerbit buku di Polewali, salah satunya yang cukup intens menerbitkan buku adalah Gerbang Visual. Sebelumnya, penulis di Sulbar menerbitkan buku di penerbitan di Yogyakarta. Lantas bukunya dikirim ke Sulbar. Sekarang dengan adanya penerbit buku lokal, penerbitan buku jadi lebih murah dan massif. Penulis juga lebih bebas berdiskusi terkait isi buku termasuk narasi yang ingin PaqissangangSalah satu kegiatan Bendipustaka Paqissangang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Tampak seorang remaja putri yang masih sangat belia membacakan salah satu puisi dari penyair terkenal kita, Chairil Anwar, yang terhimpun dalam buku AKU.”Kami penulis jadi punya pikiran bagaimana membuat corak baru dari satra Mandar yang berbeda dengan daerah lain,” ujar Dahri yang juga dosen pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Mulawarman, Kalimantan gairah sastra di Sulbar, lanjut Dahri, muncul penulis-penulis baru yang menekuni isu-isu spesifik. Salah seorang di antaranya Nasmawati Nahar yang fokus menulis kisah perempuan dan buruh migran korban di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, NTT, lahir komunitas yang diinisiasi oleh Dicky Senda. Komunitas yang bermula di sebuah perpustakaan kecil itu kini beranggotakan sekitar 200 anak dan 50 warga dewasa yang tersebar di beberapa desa, seperti Taiftob dan juga Selamatkan Sastra dari KebangkrutanLewat berbagai pelatihan penulisan dan kolaborasi, anggota komunitas berhasil menulis aneka buku yang ceritanya diangkat dari tradisi adat, legenda, dan fabel Mollo. Mereka juga mengambil foto-foto Mollo dan mengumpulkan resep-resep kuliner Mollo. Semua itu lantas dibuatkan arsipnya di media sosial. Lewat media sosial pula mereka mengampanyekan Mollo ke dunia Senda mengatakan, dulu banyak anak muda tidak tahu sejarah, budaya, dan narasi Mollo. Sekarang mereka sudah belajar lagi. ”Seni dan budaya menjadi jembatan penghubung generasi muda dan tua karena menyentuh perasaan dan jiwa, relevan dengan kehidupan,” kata Dicky, Rabu 2/3/2022.ARSIP LAKOAT KUJAWASSuasana proses perekaman musikalisasi puisi dari buku Tubuhku Batu, Rumahku Bulan oleh komunitas di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. didirikan Dicky Senda pada 2016, merupakan kewirausahaan sosial yang fokus pada pengembangan pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif masyarakat lokal. Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, tumbuh komunitas Babasal Mombasa yang merupakan akronim tiga suku yang ada di Banggai, yakni Banggai, Balantak, dan Saluan. Adapun Mombasa artinya membaca. Ama Achmad, pendiri Babasal Mombasa, mengatakan, komunitas itu dibentuk sebagai penanda identitas kultural Banggai. Komunitas ini rajin merekam peristiwa yang terjadi di Banggai dalam bentuk tulisan, menggelar malam puisi, dan merancang penerbitan buku-buku sastra di kabupaten yang sampai sekarang tidak memiliki toko buku serupa muncul di Madura. Salah satu penandanya adalah komunitas Perempuan Membaca yang didirikan Iffah Hannah pada 2016. Di komunitas ini, perempuan dari berbagai latar belakang dan usia didorong untuk saling berbagi cerita buku yang mereka baca, mendiskusikan persoalan yang sering dihadapi perempuan. Sebagian anggota rajin menulis pengalaman mereka di situs komunitas dalam aneka genre Solok, Sumatera Barat, muncul komunitas Gubuak Kopi pada 2012. Komunitas yang diinisiasi Albert Rahman Putra ini mendokumentasikan banyak hal tentang Solok lewat program Vlog Kampuang. Kampanye ini mendapat tanggapan antusias dari masyarakat Solok dengan mengirim dokumentasi potret sosial dan wajah kontemporer Solok. Hingga saat ini, sudah ada sekitar unggahan di akun solokmilikwarga di juga Gairah Berkisah Penulis TuaKomunitas juga merilis buku, menggelar sejumlah proyek seni dan sastra, dan menemani 100 penulis muda yang menjadi anggotanya. “Kami ingin membangun narasi tentang Solok dengan berbagai metode,” kata serupa muncul pula di berbagai daerah di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, dan lain-lain. Pada masa pandemi Covid-19, kegiatan komunitas sastra di berbagai daerah tetap jalan meski pindah ke ruang virtual. Dari pelosok-pelosok daerah di Indonesia mereka menggelar webinar penulisan sastra atau diskusi sastra di IG Live, bahkan residensi Perempuan Membaca, misalnya, menggelar IG Live untuk berbagi pengalaman soal novel pesantren dengan menghadirkan Khilma Anis, penulis Hati Suhita, yang oplahnya hampir mencapai eksemplar lewat penjualan sendiri tanpa toko sastraNirwan Arsuka, inisiator program literasi Pustaka Bergerak, melihat, munculnya komunitas-komunitas dalam beberapa tahun terakhir sebagai fenomena menarik karena di situ ada semacam demokratisasi kegiatan sastra. Pelakunya bukan hanya para sastrawan yang cukup mapan, melainkan juga kalangan lain yang semula tidak banyak bersentuhan dengan dunia DESTIAN/GALERI NASIONAL INSuasana Pameran Daur Subur 7 Circumstance pada tahun 2021. Circumstance adalah presentasi publik dari studi mengenai keterkaitan unsur dan elemen masyarakat di Kelurahan Kampung Jawa, Solok, Sumatera Barat. Proyek lanjutan dari proyek seni Daur Subur ini digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, sebuah komunitas yang didirikan Albert Rahman Putra. “Ini sebenarnya dilakukan sejak dulu. Tetapi kawan-kawan komunitas sekarang fasih menggunakan medium sastra sebagai ekspresi kultural maupun politik. Mereka menggunakan sastra bukan untuk ego individu tapi kolektif. Kecenderungan ini meluas di banyak daerah yang jauh dari Jawa,” ujar Nirwan, Rabu 3/3/2022.Fenomena ini, lanjut Nirwan, penting karena melahirkan narasi-narasi baru yang dikemas dalam aneka medium mulai teks tertulis, pertunjukan drama, komik, film, dan lain-lain. Perspektif yang mereka gunakan juga sangat berbeda dengan perspektif dominan dalam melihat persoalan melihat ada beberapa faktor yang mendorong fenomena tersebut. Pertama, kemudahan dalam memperoleh dan menyebarkan informasi di era dgital. Kedua, tumbuhnya penerbitan-penerbitan indie di berbagai daerah. Ketiga, ada kesadaran di kalangan komunitas sastra bahwa mereka mesti memiliki suara yang otentik. ”Sekarang suara-suara pinggiran dianggap penting dan makin dihargai. Ini merangsang kawan-kawan untuk menggali narasi-narasi lokal,” ujar jaringan komunitas sastra di daerah, lanjut Nirwan, belajar dari Yogyakarta dan Bandung yang secara kultural dianggap sebagai tandingan narasi Jakarta. Komunitas sastra di Yogyakarta dan Bandung masih ada yang setia mendampingi komunitas-komunitas sastra di daerah, mengajari mereka mengedit buku, dan mendorong teman-teman untuk pulang ke daerah masing-masing dan mengembangkan sastra di sastra di daerah, lanjut Nirwan, telah menghasilkan banyak karya dengan perspektif yang unik. ”Soal lahirnya karya yang punya kualitas tinggi kita tinggal tunggu waktu saja,” ujar yakin hal itu akan karena dari sejumlah komunitas sastra muncul penulis-penulis yang menunjukkan kemampuan yang semakin hebat dalam menggunakan bahasa Indonesia. ”Kawan-kawan di Sulsel dan NTT misalnya penggunaan bahasanya tidak kalah dengan penulis di Jawa, bahkan ada yang lebih bagus,” kata Nirwan. BSW/DOE/MHF/LSA JAKARTA Waspada Karya sastra di tengah komunitas, ternyata mampu berkontribusi menciptakan kesejahteraan bagi komunitas sastra maupun anggota secara personal. Artinya, secara perekonomian nasional, karya sastra mampu menyumbang, paling tidak, penciptaan lapangan kerja di bidang seni dan sastra melalui industri kreatif. Hal itu menjadi salah satu bahan pengamatan menarik yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, di tahun ini. Penelitian dilakukan di Kota Surakarta dan Kabupaten Semarang dengan fokus pada keberadaan komunitas sastra Indonesia dalam rangka mempertahankan kelangsungannya dengan mengarahkan perubahan ke bidang industri kreatif. Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah, Ganjar, Senin 25/10 mengatakan, penelitian ini mempunyai tujuan mengungkap keberadaan komunitas sastra di Jawa Tengah yang mengarahkan kerja sastra ke industri kreatif sebagai alternatif penciptaan nilai ekonomi karya sastra sehingga mampu menghidupi komunitas bahkan personalnya. Di samping itu, strategi apa yang digunakan komunitas sastra dalam industri kreatif dapat diketahui. “Selain mengungkap pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, dapat juga terungkap persoalan-persoalan yang lainnya, seperti model pendampingan dan sebagainya,” imbuh Ganjar. Kegiatan ini berupa penelitian lapangan. Data yang diambil merupakan komunitas sastra dan industri kreatif yang terdapat dua daerah di Kabupatem Semarang dan Kota Surakarta. Tim peneliti mendatangi komunitas-komunitas sastra yang berada di Kota Surakarta yang mengarah ke industri kreatif dan berpotensi ke arah industri kreatif. Tim melakukan wawancara mendalam terhadap komunitas sastra untuk mengetahui arah industri kreatifnya. Dalam wawancara, tim dengan komunitas sastra, tim juga mengamati lingkungan sekitar komuitas sastra berada. Maksud dari mengamati lingkungan ini, tim berharap mendapat juga gambaran nyata komunitas sastra dalam mempertahankan eksistensi komunitas. Bagaimana sarana dan prasarana yang dimiliki komunitas, kekurangan sarana dan prasarana apa selama ini, strategi apa yang digunakan, industri kreatif apa yang dikembangkan, dan sebagainya dapat terekam sepenuhnya sehingga dapat membuka jalan untuk mengetahui strategi apa yang digunakan komunitas dalam menutup kekurangan tersebut. Di samping wawancara dengan komunitas sastra, ada juga opini kepada sastrawan dan instansi terkait untuk mengetahui pandangan tentang komunitas dan industri kreatif. Hasil wawancara dengan pihak lain ini kemudian dikolaborasikan dengan strategi komunitas dalam industri kreatifnya. Pandangan sastrawan dan instansi terkait umumnya, positif, dalam artian komunitas mampu mempertahankan karya mereka dengan masuk ke dalam industri kreatif tanpa kehilangan jati dirinya. “Dan juga, mereka memandang mampu memberi nilai ekonomi pada karya sastra mereka,” imbuh Ganjar. Ada beberapa komunitas di Surakarta dan Kabupaten Semarang yang melakukan terobosan dengan industri kreatif yang mereka tawarkan kepada masayarakat. Dalam penelitian ini, industri kreatif yang dikembangkan komunitas sastra, antara lain bidang penerbitan, seni pertunjukan, dan film. Bidang penerbitan melakukan pengembangan konten dengan mewujudkan dalam bentuk buku, jurnal, majalah, dan sebagainya, seperti yang dilakukan oleh komunitas Pawon di Surakarta. Bidang seni pertunjukkan dengan mengembangkan konten temabng macapat diangkat dalam dunia pertunjukkan, hal ini patut diberi apresiasi mengingat tidak mudah mengangkat nilai-nilai budaya Jawa yang terkandung dalam tembang macapat kemudian dipertunjukkan kepada masyarakat. Dari hanya tembang-tembang Jawa menjadi sebuah pertunjukan drama, dan dipanggungkan ke pelosok desa-desa dengan tata dekorasi teater walau masih tampak sederhana, seperti yang dilakukan Teater Hening Kabupaten Semarang. Bidang film melakukan pengembangan konten dengan mengangkat cerita-cerita rakyat daerah dan melakukan pemutaran film di desa-desa pelosok. Selain menghibur, konten yang diangkat juga memberi edukasi kepada masyarakat. Hal ini dilakukan oleh komunitas sastra kembanggulo. Dari beberapa bidang industri kreatif, ditemukan pola-pola strategi yang dipengaruhi oleh kemajuan kota terkait teknologi, di Surakarta menggunakan teknologi modern yang menghasilkan industri kreatif yang berciri modern penerbitan dan percetakan dan film, di Kabupaten Semarang menggunakan pola tradisional dengan kekuatan tokoh dalam pertunjukkan. Penelusuran komunitas-komunitas sastra yang tim lakukan di masa pandemi Covid-19 menjadi kendala dan tantangan tersendiri yang tim hadapi. Dengan segala keterbatasan waktu dan dana, tim menuju daerah yang notabene daerah pandemi. Tim hanya mampu mengunjungi komunitas sastra yang sudah dikenal saja untuk menjaga kesehatan covid-19 dan keefisienan waktu. Komunitas-komunitas sastra yang lain belum sempat tim kunjungi akibat covid-19. “Penelitian ini idealnya berkelanjutan, apalagi tahun ini bidang kesehatan tidak memungkinkan, tahun depan masih dibutuhkan penelitian lagi. Karena, memang sangat penting bagi pengembanagn komunitas sastra sendiri dan pemerintah dalam menentukan kebijakan terhadap ekonomi kreatif di bidang sastra,” tandas Ganjar. J02

komunitas sastra di jakarta